Monday, December 26, 2011

Untitled [Part 2]

Lanjutan post sebelumnya HAHAHAHAHA jadi.... ceritanya habis gw post FF itu, sempet RC singkat sama Sapu yang cuma bisa nongol dan OL bentar, dan entah gw kesambet apaan tiba-tiba aja ini jari udah gerak ngetik lanjutannya mengkreasikan RC yang kepotong itu orz;;;

Enjoy deh ya. Seperti FF sebelumnya (yang lupa gw tulisin di A/N tapi males gw edit-edit lagi buat tambahin) Ini buat Sapu, sama buat Andrew.

=======================





Aku pasti barusan jatuh tertidur tanpa sadar entah untuk berapa lama, karena setelahnya aku hanya sadar mendengar suara ketukan samar. Ketukan yang terdengar tidak asing.

"Helloooooo!!"

Tentu saja aku mengenal suara itu. Suara siapa lagi? Aku mendadak terbangun, mataku langsung terbuka sepenuhnya. Seraut wajahnya muncul di permukaan cerminku, dengan cengiran lebarnya, dengan binar matanya yang berseri-seri riang, langsung melambai-lambai heboh begitu menyadari aku sudah membuka mata. Lalu terkekeh-kekeh lagi, mungkin karena setelahnya aku hanya bengong dan terpaku selama beberapa saat.

"Hweeeeee....."


...

Iya, merengek seperti bocah. Ah, peduli apa juga? Pokoknya Andrew sudah muncul, itu satu-satunya yang mengokupasi pikiranku saat ini. Dia pasti menyandarkan cermin miliknya atau mungkin membuatnya melayang di udara, karena kini ia merentangkan kedua tangannya lebar-lebar, memberi gestur seolah hendak memelukku. Kusambar tongkatku di meja samping tempat tidur, membesarkan cerminnya hingga berdiameter sekitar tiga puluh senti, menyandarkannya di dinding hingga berdiri tegak. Aku kembali berbaring miring dengan wajah menghadap cermin.

"Happy Saturnalia! And Yuletide, and Winter Solstice, and Christmas, and Anniversary!"

Andrew mengakhiri runtutan ucapan selamatnya dengan mengecup cermin. Aku melakukan hal yang sama, mengecup permukaan cermin yang dingin berkali-kali. Dan lagi. Dan lagi. Dan lagi.

"Kangeeen..."

"Aye, me too..."

Wajahku pasti jelek sekali, merengek seperti anak kecil sembari menahan tangis tapi juga dengan bibir tersenyum lebar, sangat, sangat lebar, tanpa bisa kutahan, dengan cahaya lampu minyak yang apinya sesekali bergoyang sebagai latar belakang. Dia sudah berhenti menciumi cermin, pandangannya melembut dengan senyumnya yang masih selebar tadi.

"How are you?"

"Still alive, breathing... But it's too lonely without you."

"Aww... I'm lonely, too." Akhir kalimatku sepertinya terdengar amat sangat depresi, karena ia kemudian terdengar seperti tengah membujukku, jemarinya mengelusi permukaan cermin seolah tengah mengelus rambutku. Kupejamkan mata, kubayangkan jari-jemarinya tengah benar-benar mengelus rambutku dengan lembut, seperti yang biasa ia lakukan.

"But you've got my boy, you're not alone! Me? It's only Mundanus and snow and snow and effin' snow!"

Ayolah, kalau ia tengah merutuk-rutuk dengan wajah ditekuk lucu macam bocah direbut mainannya begitu, mana pernah sih aku tidak tertawa? Atau setidaknya mendengus geli.

"Kan ada sweter dariku," aku masih terkikik geli.

"It's minus thirty or forty or something! And I think I'm gonna miss our Christmas party..."

".......... Kamu di mana ini—kapan pulaaang?"

"Tiga atau empat hari lagi. Mungkin... Aku tak tahu ini di mana, kayaknya bahkan ga ada di peta."

Minus tiga puluh derajat, tidak terpeta... Aku cuma bisa bengong, menggumamkan 'ya ampun' yang bahkan sampai tidak bersuara, menggumamkan tentang pekerjaan apa yang dititahkan Mundanus untuknya sampai menculiknya ke antah berantah begitu. Andrew hanya terkekeh menanggapinya.

"Kamu sendiri gimana? Kristobal ga suruh yang aneh-aneh, kan?"

"Cuma suruh masak makan malam. Terus ngurus Toto. Terus... masak buat Christmas Dinner besok—"

"CHRISTMAS DINNAAAAH!!!"

"—firasatku sih dia bakal aku suruh masak terus sampai Mrs. Lovett pulang—kamu kenapa?"

Aku mengerjap-ngerjap terpana karena dia mendadak merengek dan uring-uringan dan mengacak-acak rambutnya, teriak-teriak tolol soal Christmas Dinner.

"Aku kangen masakanmu," ia masih merengek. "And now knowing that you cook some delicious food for other people but me..."

".... gimana dong," aku bergumam merana. "Aku kesepian di rumah sendiri. It's so empty, and cold, and quiet..."

"I know, I'm sorry."

"Terus mau kirim masakannya lewat Dawn juga... katamu tidak terpeta."

"Jangan, nanti Dawn mati di tengah jalan."

Aku berdecak, entah harus merasa takjub atau kasihan. Padahal, burung hantu salju betina pemberiannya dulu itu tidak bisa dibilang lemah. Ketika aku masih di Hogwarts dulu saja Dawn sudah biasa terbang bolak-balik lintas-negara (karena aku masih terjebak di kastil Hogwarts, sementara Andrew berkeliaran di Norwegia, lalu ke Islandia, dan entah ke mana lagi, aku sampai tidak ingat) bahkan lintas benua ketika musim semi lalu aku kabur ke sebuah pulau tropis di Asia Tenggara setelah kami bertengkar dan Andrew mengirimiku surat demi surat hingga pada akhirnya ia nekat menyusulku terbang naik sapu mengikuti Dawn dari Inggris—oke, itu cerita lain, kapan-kapan saja kuceritakan.

"Kamu nggak bisa pulang dulu ya, sebentar saja gitu?"

Lagi-lagi aku menghela napas panjang, memandanginya sendu di balik cermin.

"I will if I could..."

"—hng."

Hening lagi. Jemariku mengelus cerminnya lagi, mensugesti pikiranku kalau aku tengah menyentuh pipinya, menarik-narik bibirnya yang kini tampak murung lagi.

"Yasudah, nanti kamu pulang aku masak lagi, deh."

...

Dan rasanya, barusan aku terdengar seperti tengah menegar-negarkan diri lagi.

"Kayaknya malam ini bisa sebentar deh, sejam atau dua jam. Siapkan ember buat aku muntah."

Sontak aku kembali duduk tegak, menganga sangat lebar.

"Malam ini?! BETULAN?!"

"Iya. Sekarang jam berapa di sana? I'm lost in time here."

"But—but—" aku gelagapan seperti orang linglung habis akal. "—But it's almost midnight!"

"Oh, midnight ya di sana..."

" ............... Jangan-jangan kamu di luar Inggris ya."

Setelah kupikir-pikir lagi, itu pertanyaan luar biasa tolol. Inggris bagian mana yang saat ini suhunya mencapai minus tiga puluh derajat?

"Inggris bagian mana coba yang bikin jam tangan jadi ga berfungsi?"

Oh, plus itu juga.

"I'm somewhere in north pole, or south pole. Maybe north because I saw something looks like polar bear hours ago."

".... Astaga."

Oke, itu menjelaskan kenapa Andrew hanya melihat salju dan salju saja.

"Yasudah. Kalau kamu bisa pulang, pulang ke rumah saja. Ini aku di tempat Kristobal, aku pulang juga kalau begitu."

"Katanya kamu masak di sana?"

"Tapi ini midnight... sudah ngga ada sisa apa-apa lagi."

"Hmmm... sebentar deh."

Dia menghilang sesaat dari cermin. Kulipat kakiku, jemariku mengetuk-ngetuk besi berukir kepala tempat tidur selama menunggunya. Sebentar ia kembali muncul.

"Kamu pulang pakai apa?" tanyanya.

"Floo." itu satu-satunya yang terpikir cukup aman untukku, tanpa harus khawatir Splinching atau apapun yang kira-kira bakal mempengaruhi kandunganku.

"Aku cuma bisa sejam, paling. Dan sialnya bisanya sekarang. Like, sekarang..."

"Ya sudah aku juga pulang," ujarku mantap, melompat turun dari tempat tidur tanpa berpikir panjang lagi, bahkan tak terganggu mencari sandal kamar sama sekali. Cerminnya kukecilkan lagi, rantainya kembali kukalungkan ke leherku.

"Hati-hati kamu pakai Floo-nya."

"Iya."

"Okay. See ya at home."

Kukecup permukaan cermin untuk yang terakhir kali, kakiku yang telanjang sudah berderap memburu pintu, mendorongnya hingga menjeblak terbuka, masih dalam gaun tidurku. Aku tahu ini belum jam tidur Kristobal, pria itu pasti masih berkutat di ruang kerjanya, atau di Ruang Ramuan di basemen. Tidak peduli ini sudah hampir tengah malam, aku berlari menyusuri koridor dan menuruni tangga, berderap berisik mencari-cari sesosok Kristobal Morcerf. Aku merinding kedinginan, mantel kamarku juga lupa kukenakan, sepertinya masih tersangkut di kaitan di kamar.

"Kristobal! I'm going home for tonight!"

***

Pintu kaca yang menghubungkan kamar kami ke taman ini sudah sejak tadi kubuka lebar-lebar. Aku merinding di balik balutan mantel musim dingin tebal, sepertinya di London bagian ini juga terkena hujan salju, hamparan rumput di kebun kami tampak putih, hampir kesemuanya tertutup salju. Aku sudah menyiapkan segulung besar tisu, air putih hangat dan segelas ramuan anti muntah di atas meja rias, mondar-mandir tidak sabar menunggu Andrew tiba. Kutub Utara dengan London, silakan bayangkan jauhnya berapa ribu kilometer. Apparate dengan jarak sejauh itu siapapun isi perutnya pasti akan teraduk maksima.

Suara letusan yang cukup keras di kebun memberitahuku kalau Andrew sudah tiba. Aku berderap menyongsongnya yang langsung jatuh berlutut dan muntah-muntah hebat di atas salju, tidak peduli hanya mengenakan sandal kamar, kedua tanganku penuh dengan gelas berisi ramuan dan gulungan besar tisu dan tongkat, yang kemudian semuanya kukepit di sebelah tangan, sebelah lagi memijati belakang leher dan pundak Andrew.

"I need to brush my teeth..... Ugh...."

Akhirnya dia berhenti, masih terpuruk lemas. Ia mengelap mulutnya dengan tisu yang kusodorkan, wajahnya yang terkena bias cahaya dari kamar yang terbuka masih tampak pucat.

"Nih minum dulu," kusodorkan gelas berisi ramuannya yang ia tandaskan sekali teguk, menggumamkan terima kasih.

"Oke, aku ke kamar mandi dulu."

"Sana."

Mengerikan, kalau melihat bekasnya muntah-muntah tadi. Tongkatku terayun membersihkan bekasnya, Andrew sudah melenggang masuk terlebih dulu. Dengan gelas dan tisu masih di pelukan, kutarik pintu geser kaca hingga menutup, menguncinya, menarik kembali tirai hingga rapat, melenggang menuju dapur.

"Gyaaaa!!"

Sesuatu menubrukku dari belakang, aku hanya melihat kelebatan berwarna cokelat. Andrew, siapa lagi? Tawaku berderai, balas merangkulnya dengan erat.

"I miss youuuuuu...."

"I miss you, tooooo...."

Ucapanku terputus oleh ciumannya, berkali-kali, merangsekku tak sabar, bibirku dan miliknya saling berpagutan seolah kerasukan, saling menyesap, menghirup, mencecap, mereguk sepuas-puasnya, dan lagi, dan lagi sampai kehabisan napas, tak ubahnya seperti sudah tidak saling berjumpa selama ribuan tahun, padahal baru tiga hari Andrew pergi. Aku merindukannya, merindukannya, amat sangat merindukannya, dadaku terasa meluap-luap sampai mau pecah.

"Kamu sehat, kan? Tidur cukup, kan? Makanmu benar, kan?"

Ia memberondongku tanpa ampun begitu bibir kami saling terpisah, mengelus rambutku dengan lembut. Aku tahu, ia juga rindu menyentuh kembali rambutku, merasakannya di antara jari-jemarinya yang besar itu. Senyumku terkembang, menangkap kedua iris hijaunya menatapku sayang, tengah menyelidik profilku dari ujung kepala hingga ujung kaki. Aku mengangguk-angguk kecil.

"I'm fine." Merlin, bahkan setelah aku memeluknya, setelah aku menciumnya, bahkan setelah jemariku menelusuri garis wajahnya ini, aku masih belum percaya Andrew, Andrew-ku tiba-tiba saja muncul di hadapanku, tengah memelukku erat, tengah mengelus dan menghirup rambutku dalam-dalam. "Kamu sendiri? Makanmu gimana? Istirahat cukup, nggak?"

"Yaah... lumayan," jawaban ambigu. Kalau dia menjawab begitu, aku tahu dia pasti bekerja terlalu keras lagi seperti biasanya. "Sudahlah, yang penting aku masih hidup."

Benar juga. Andrew-ku masih hidup, kini ada di depanku, bisa kusentuh, kupeluk sepuasnya. Aku menelusupkan kepalaku ke dadanya, mengeratkan pelukanku seolah enggan berpisah.

"Bau ih." Lalu tertawa berderai.

"Ga suka?" lagi-lagi, dengan ekspresi bandelnya yang khas itu. Aku kembali tertawa, menusuk-nusuk pinggangnya.

"Kalau kamu punya waktu panjang, sudah aku seret kamar mandi ini."

"Wuuhuu. Kamu mau apain aku dong sekarang?"

"Kamu maunya apa?" aku mengedip penuh arti, mengayun-ayunkan genggaman tangan kami dengan riang, mengikik geli. "Mau makan? Atau mandi? Atau... yang lain?"

"Memang kamu bisa bikin apa cuma sejam? Besides, aku baru makan, sih."

"Omelet... paling?"

Ia terbahak menanggapi, menepuk kepalaku ringan. "Nanti saja," timpalnya, mengedip main-main, "kalau aku balik betulan."

"Jadi... Mandi?"

Entah senyum siapa yang paling lebar, miliknya atau senyumku. Atau kikikan siapa yang paling keras. Aku berjinjit menarik lehernya agar sejajar, mengecup pipinya. Kakiku melangkah, menarik tangannya menuju kamar mandi.

Cuma satu jam.

Tidak apa. Dia muncul saja, aku sudah bahagia.

***

"Kamu harus pergi lagi sekarang, ya?"

Aku mendesah sendu, menyodorkan ransel berisi beberapa mantel dan pakaian tebal lain, hot packs, serta satu termos cokelat panas untuknya. Jemarinya menyibakkan anak-anak rambut di pelipisku lagi, tampak sama beratnya untuk pergi.

"Kamu tidurlah. Aku pergi setelah kamu tidur."

Ia melepaskan ransel dan termos dari genggaman tanganku, membimbingku ke atas tempat tidur. Aku menurut tanpa berkata apa-apa. Ia membantuku berbaring, membantuku meletakkan bantal di bawah bokong dan lututku, menyelimutiku, memastikan aku sudah berbaring nyaman. Duduk di sampingku, membelai-belai rambutku. Pandanganku tak pernah terlepas darinya.

"Sana tidur. Sudah malam."

"Mmm-hmm."

Sebelah tangannya kupeluk erat. Aku tahu, ini bukan keinginannya untuk meninggalkanku lagi, kami sama sekali tidak punya kuasa untuk begitu saja minggat dan menolak bekerja. Tetap saja... Aku tak bisa menutup mata. Aku tahu, kalau kututup mataku sekarang, ia akan pergi, dan besok pagi, aku hanya akan disambut keheningan dan kehampaan yang sama.

Tapi kalau aku tidak tidur, aku tahu ia tak akan tenang meninggalkanku, khawatir tidurku tak cukup karena tak ada dirinya yang bisa kupeluk di sampingku, kawatir nantinya akan mengganggu kesehatanku, mengganggu kandunganku.

"Tinggal beberapa hari lagi. Aku janji langsung pulang begitu bisa." Lagi-lagi kudengar suaranya yang lembut, membelai telingaku. Jemarinya kini mengelus-elus perutku. "Tidurlah. Dia juga perlu istirahat."

Dia tahu itu kata-kata yang ampuh untuk membuatku menurut. Dengan berat hati, kubiarkan kelopak mataku tertutup, entah kenapa mendadak aku merasa amat sangat lelah, sangat mengantuk. Aku merasakan dia mengecup keningku, lama, sangat lama, aku bisa merasakan setiap kerinduannya yang membuncah, setiap keengganannya untuk meninggalkanku sendirian lagi, setiap sayangnya yang seolah ingin menyelimutiku selamanya dan tak pernah beranjak selangkahpun lagi dari sisiku. Aku meremas genggamannya, mencium punggung tangannya dengan sayang, sebelum melepaskannya dengan berat hati.

"I love you."

Hanya itu yang kuingat sebelum aku jatuh tertidur, berharap memimpikannya tengah bergelung di sampingku, terlelap sambil saling berpelukan.

—THE END—

Sunday, December 25, 2011

Untitled

Lagi-lagi Untitled, HAHAHA. Fic kilat, ditulis cuma karena kangen Andrew .____. #patetik Entah OOC apa kaga, entah grammar-nya bener apa kaga, pokoknya ini gw ngetik tanpa mikir juga ._____. Disclaimer to JKR untuk Wizarding World-nya, chara-chara yang disebut milik masing-masing PM (malesabsen.com), sepotong lirik lagu yang dipake itu dari Nina Simone - Turn Me On.

Enjoy.

============================


Baru saja jam dinding besar yang tergantung di belakang konter berdentang enam kali. Sepi. Plakat 'Tutup' sudah semenjak tadi dibalik, terakhir kali bel di atas pintu masuk berdenting adalah ketika Aria pulang, dan itu sudah lebih dari setengah jam lalu. Gin menghilang begitu jam kerja usai dan ia tidak terlalu memedulikannya, bahkan ia tidak ingat apakah melihat gadis itu keluar dari toko atau tidak. Sepasang iris kelabunya menatap hampa deretan toples bumbu di atas rak, jemarinya berputar-putar di bibir cangkir teh yang juga telah lama kosong, sebelah tangannya menopang dagu.

Ada langkah-langkah pelan mendekati dapur tempatnya duduk, ia menyadari. Sesosok jangkung yang familier muncul kemudian, keningnya berkerut, mungkin heran ia masih melamun di dapur dengan tenangnya seusai jam kerja.

"You're not going back yet?"

Wajar saja kalau Kristobal heran, ini sesuatu di luar kebiasaan. Bahkan kalau Liga harus melembur pun, dia selalu menyempatkan diri pulang sejenak agar bisa memasak makan malam untuk Andrew. Sekarang pukul enam lebih, di luar bahkan sudah gelap, gadis itu masih tak bergerak dari dapur dengan wajah sekosong mayat, hanya menjawab dengan lenguhan pelan, mengintip isi poci teh seolah baru sadar cangkirnya kosong sejak tadi.

"Can I stay for tonight?"

Baru saja Kristobal tengah menimbang-nimbang apakah ia harus menginterogasi duluan atau menunggu hingga Liga buka mulut. Keningnya semakin berkerut, luar biasa heran. Coba, kapan memangnya gadis itu dengan sukarela minta untuk menginap?

"Another row with Andrew?"

Mungkin saja, kan? Terakhir kali Andrew yang mengungsi setelah katanya habis berselisih tegang, bukan tidak mungkin kini gadis itu yang mengungsi.

"What? No!" Barulah sekarang Liga tampak sedikit hidup, membelalak terkejut sambil mendengus meremehkan. "No, we're good, we're all good," dia menyalakan kompor lagi untuk menjerang air panas baru. "He's just away for some days. Work. I don't know where, though. Mundanus didn't tell him beforehand."

"You're lonely. I see."

Gadis itu mendengus, membuka mulutnya hendak mengatakan sesuatu untuk menyangkal, namun mendadak ia seperti teringat akan sesuatu, memandang Kristobal dengan pandangan cemas, alih-alih menanyakan hal yang lain.

"Wait—why did you think I had a row with him? Did he say something to you?"

"What do you think I am, your private domestic consultant?" Kristobal menjawab ketus, menyibukkan diri membuat secangkir kopi. "No, he didn't say anything, and like hell I care even if he did."

Meski begitu, pria itu mengerling dari sudut matanya, mendapati Liga tengah menghela napas lega, jemarinya memutar-mutar kaleng tempat daun teh tanpa fokus.

"So can I stay or not?"

Satu seringai menyebalkan terkembang.

"You cook for dinner."

"Mmkay."

Harus diakui Kristobal sedikit terkejut gadis itu menyetujui begitu saja tanpa penolakan sedikitpun.

"And bathe Toto."

"Fine."

"And make the list of all items that came today."

"Got it."

Hening sejenak. Liga menanggapi semuanya sambil lalu, sama sekali tidak tampak usaha untuk menolak atau menawar. Memasak makan malam dan memandikan Toto memang bukan hal yang asing lagi. Bukan hobinya mengurusi anak perempuan yang masih saja enggan melakukan gencatan senjata dengannya itu, namun mengingat opsi lainnya adalah membiarkan Toto dimandikan Fenrir atau Kristobal, ia menyanggupi tanpa pikir panjang lagi. Ini semata karena alasan kepantasan, anak perempuan itu bukan balita lagi.

"I'm supposed to be pleased that you're so obedient," pria itu menghela napas panjang, menggulirkan bola matanya. "Forget the list, Yosef'll do."

"I can manage it after dinner." Apa lagi yang bisa dia lakukan sehabis makan malam, memangnya? Ia perlu sesuatu untuk mengalihkan pikirannya atau dia hanya akan menghabiskan waktu dengan lagi-lagi melamun, bertanya-tanya apa yang tengah dilakukan Andrew-nya, bertanya-tanya apakah pemuda itu makan dengan teratur atau tidak, beristirahat yang cukup atau tidak, hal-hal kecil semacam itu hingga ia kelelahan sendiri dan jatuh tertidur. Memangnya untuk apa lagi ia menghindar pulang? Tiga hari berlalu semenjak Andrew berpamitan pergi, semakin lama rumah terasa semakin dingin dan sepi, ia tak tahan lagi.

"Did you forget that you're pregnant?" pria itu menyipit memandangnya. "I don't want to make your boyfriend think that I overworked you while he's away. End of discussion."

Liga tergugu, pria itu keburu menghilang lagi dari ambang pintu sebelum ia bisa mengatakan apapun.

***
Malam dua puluh empat Desember.

Toto memandangi perut Liga yang mulai membesar dengan luar biasa penasaran, menanyainya segala macam ketika dimandikan tadi. Bocah itu berkali-kali mengulangi pertanyaan tentang apakah betulan ada bayi di dalam perutnya, tentang bagaimana caranya si bayi keluar nanti, dan macam-macam lagi. Ia kelabakan ketika bocah perempuan itu bertanya apakah Mama Kristobal bisa hamil atau tidak, susah payah berusaha menjelaskan kalau orang yang ia panggil Mama ini adalah seorang pria tanpa harus menyakitinya atau apa. Liga mengangkat topik Natal dengan tujuan mengalihkan topik pembicaraan, namun bocah itu menyetirnya balik lagi dengan berkata ingin meminta bayi pada Sinterklas untuk hadiah Natal. Lagi-lagi, gadis itu menjelaskan panjang lebar tentang proses kehamilan yang memakan waktu sembilan bulan dan sebagainya.

Kalau airnya tidak mendingin, entah kapan mereka keluar bak mandi. Bocah itu bisa sangat keras kepala sewaktu-waktu. Fenrir meneriakinya dari luar, menyuruhnya memingsankan Toto saja daripada susah payah membujuknya, yang langsung Liga balas dengan membaweli Fenrir panjang lebar tentang ia bukan ayah yang bertanggung jawab dan sebagainya, juga mengancam akan mengadukan Fenrir ke Komisi Perlindungan Anak bila lagi-lagi pria itu kedapatan memakai Stupefy untuk membuat Toto menurut. Pada akhirnya, bocah itu mau keluar kamar mandi setelah Liga bilang akan mengizinkannya memakai lotion miliknya.

Toto rupanya belum mau menyerah begitu saja pada topik Natal. Ia melompat turun dari tempat tidur ketika Liga tengah menyisiri rambutnya yang keriting panjang, kaki-kaki kecilnya berderap memburu ruang tengah tempat Fenrir, Kristobal dan Junior duduk-duduk setelah makan malam, berceloteh berisik tentang besok hari Natal dan ia ingin makan kalkun panggang dan sebagainya besok malam. Mrs. Lovett si pengurus rumah sudah keburu absen untuk liburan. Dua pria lajang, mana pernah mereka mereka masak kalkun panggang dan cake Natal dan sebangsanya itu? Di tengah-tengah keputusasaan, Kristobal secara sebelah pihak memutuskan untuk memotong libur Liga yang teknisnya dimulai besok, mengharuskan dia memasak untuk makan malam Natal sesuai keinginan Toto kecil.

Liga mengantisipasi Junior lagi-lagi ngambek, atau sedikitnya mendengus sebal karena mereka kembali mengabulkan keinginan Toto, tapi si pemuda tanggung hanya mengintip sedikit dari balik buku yang tengah ia tekuni, seolah tak ada apa-apa yang terjadi. Ia lalu mengasumsikan kalau bahkan Junior pun ingin menghindari kemungkinan dapur meledak atau mendadak diare karena Kristobal terpaksa memasak.

Dan tiba-tiba saja, telah diputuskan kalau ia akan tinggal di Spiny Serpent sepanjang Natal. Atau setidaknya sampai Andrew pulang. Ia mengingatkan diri untuk memberikan daftar belanjaan pada Yosef besok pagi, enggan kalau harus berdesakan berbelanja di hari Natal.

Malam dua puluh empat Desember. Kristobal memberi kamar kosong di lantai paling atas ini untuk ia tempati. Tadi ia pulang sebentar untuk mengambil barang-barangnya, termasuk beberapa piringan hitam—yang sebenarnya kesemuanya milik Andrew—meminjam pemutar piringan hitam pada Kristobal. Ini kebiasaannya yang lain bila Andrew tengah pergi, apalagi berhari-hari seperti sekarang.

Hujan salju.

Ia berbaring miring menghadap jendela, mengamati butir-butir halus salju yang tertiup, mendesis ketika menyentuh kaca, semakin lama bertumpuk di tiap sudutnya. Pelan ia mengelus-elus perutnya, sesuatu yang semakin sering ia lakukan tanpa sadar. Belum begitu besar, namun ia tak lagi berani tidur telentang.

Seharusnya besok ia libur. Seharusnya Andrew juga libur. Gadis itu sempat ngambek dan mencemberuti Andrew seharian ketika pemuda itu berkata mendadak Mundanus menyeretnya bekerja dan membatalkan jatah liburnya yang sangat langka itu, tapi lama-lama ia sadar, ini sama sekali di luar kehendak Andrew, dia hanya bisa menurut atau dipecat dari titel Murid. Dia ingat dia memukul bahu Andrew sebal dan mengultimatumnya untuk pulang dalam keadaan utuh hanya karena pemuda itu terus-terusan berkelakar Mundanus mungkin akan membuatnya melakukan sesuatu yang berbahaya, lalu memaksanya pergi dengan membawa bermacam-macam ramuan. Ia ingat, setelahnya, Andrew memeluknya sangat erat, berbisik lirih di telinganya kalau pemuda itu juga tidak ingin pergi jauh-jauh darinya, tidak ketika Liga tengah berbadan dua begini. Terus, dan terus, mereka berpelukan, sedikit terlalu lama, tak ada satupun yang ingin melepaskan pelukan lebih dulu.

"Let me go with you." Ia ingat ia berkata begitu tanpa pikir panjang.

"Heh," Andrew menjentik ujung hidungnya, tampak sama tersiksanya. "You need rest as much as you can get. If you're there, either Mundanus would kick you out at once or enslaved you, too."

"I'm not that weak," Liga mendengus, menghentakkan kakinya kesal. Kenapa mendadak saja semua orang memperlakukannya seolah ia serapuh patung kaca begini? Ya, ia memang tengah hamil, tapi muntah-muntahnya sudah hampir hilang, ia tidak lagi terlalu mudah kelelahan seperti sebelumnya, malah ia merasa amat sangat sehat, hanya mungkin sedikit limbung bila bergerak terlalu cepat, ia belum terbiasa dengan beban tambahan di perutnya.

"Of course, you're my girl," pemuda itu terkekeh. Jemarinya mengelus helai-helai rambut di pelipis Liga. Mengecup keningnya lamat-lamat.

"Don't overwork yourself, kay? It's for our baby, too."

"We'll miss you."

"I know. I'll miss you, too. Both of you."

Pemuda itu berlutut, sorot matanya melembut ketika mengelus perut Liga, mengecupnya perlahan. "Be a good boy, kay, buddy? Take care of your Mummy for Daddy."

Mau tak mau Liga terkekeh kecil. Andrew masih saja keras kepala kalau anak mereka itu laki-laki, selalu mengabaikan godaan Liga tentang firasatnya yang malah lebih tajam dari firasat Liga, atau Andrew yang mendadak jago meramal, atau Andrew yang mendadak jadi seorang ahli kandungan. Keyakinannya kalau anak mereka laki-laki sama sekali tidak surut, dan tampaknya semakin lama semakin besar.

"I better get going."

Satu ciuman terakhir, dan api berwarna zamrud menelannya. Pemuda itu pergi untuk seminggu.

Ia menghela napas panjang, mengeluarkan cermin bulat kecil dari balik gaun tidurnya, rantai tipisnya berkilau memantulkan cahaya lampu minyak. Hanya ada putih berkabut, tak tampak apapun. Andrew memang berkata ia tidak tahu apakah ia punya waktu untuk berbincang lewat cermin atau tidak. Tetap saja...

——
Like a flower waiting to bloom
like a light bulb in a dark room
I am sitting here waiting for you to come home and turn me on
——

Sial, lagunya malah membuatnya semakin merana.

"Hey, Andrew," ia berbisik, berharap seraut wajah pemuda itu muncul dengan cengiran khas-nya, menghujaninya ciuman jarak jauh, mungkin juga merengek-rengek tentang pemuda itu yang juga merindukan Liga.

Tapi nihil. Hanya ada kabut putih seperti sebelumnya.

Jemarinya mengelus permukaan cermin yang dingin, menggigit bibir getir. Malam dua puluh empat Desember. Hujan salju. Mungkin sebentar lagi dua puluh lima, ia tidak tahu sudah berapa lama ia berbaring begini, mendengarkan musik, mendengarkan angin di luar, mendengarkan napasnya sendiri, mendengarkan detak jantungnya sendiri.

"I miss you."

Kembali sebelah tangannya mengelus perutnya.

"He said he missed you, too."

Rasanya bernapas terasa semakin berat. Apa mendadak ada yang menyedot seluruh persediaan oksigen di ruangan kecil ini?

"Cepat pulang, dong."

Knockturn Alley di malam hari sama sunyinya dengan kuburan, ternyata.

—THE END—