Enjoy deh ya. Seperti FF sebelumnya (yang lupa gw tulisin di A/N tapi males gw edit-edit lagi buat tambahin) Ini buat Sapu, sama buat Andrew.
=======================
Aku pasti barusan jatuh tertidur tanpa sadar entah untuk berapa lama, karena setelahnya aku hanya sadar mendengar suara ketukan samar. Ketukan yang terdengar tidak asing.
"Helloooooo!!"
Tentu saja aku mengenal suara itu. Suara siapa lagi? Aku mendadak terbangun, mataku langsung terbuka sepenuhnya. Seraut wajahnya muncul di permukaan cerminku, dengan cengiran lebarnya, dengan binar matanya yang berseri-seri riang, langsung melambai-lambai heboh begitu menyadari aku sudah membuka mata. Lalu terkekeh-kekeh lagi, mungkin karena setelahnya aku hanya bengong dan terpaku selama beberapa saat.
"Hweeeeee....."
...
Iya, merengek seperti bocah. Ah, peduli apa juga? Pokoknya Andrew sudah muncul, itu satu-satunya yang mengokupasi pikiranku saat ini. Dia pasti menyandarkan cermin miliknya atau mungkin membuatnya melayang di udara, karena kini ia merentangkan kedua tangannya lebar-lebar, memberi gestur seolah hendak memelukku. Kusambar tongkatku di meja samping tempat tidur, membesarkan cerminnya hingga berdiameter sekitar tiga puluh senti, menyandarkannya di dinding hingga berdiri tegak. Aku kembali berbaring miring dengan wajah menghadap cermin.
"Happy Saturnalia! And Yuletide, and Winter Solstice, and Christmas, and Anniversary!"
Andrew mengakhiri runtutan ucapan selamatnya dengan mengecup cermin. Aku melakukan hal yang sama, mengecup permukaan cermin yang dingin berkali-kali. Dan lagi. Dan lagi. Dan lagi.
"Kangeeen..."
"Aye, me too..."
Wajahku pasti jelek sekali, merengek seperti anak kecil sembari menahan tangis tapi juga dengan bibir tersenyum lebar, sangat, sangat lebar, tanpa bisa kutahan, dengan cahaya lampu minyak yang apinya sesekali bergoyang sebagai latar belakang. Dia sudah berhenti menciumi cermin, pandangannya melembut dengan senyumnya yang masih selebar tadi.
"How are you?"
"Still alive, breathing... But it's too lonely without you."
"Aww... I'm lonely, too." Akhir kalimatku sepertinya terdengar amat sangat depresi, karena ia kemudian terdengar seperti tengah membujukku, jemarinya mengelusi permukaan cermin seolah tengah mengelus rambutku. Kupejamkan mata, kubayangkan jari-jemarinya tengah benar-benar mengelus rambutku dengan lembut, seperti yang biasa ia lakukan.
"But you've got my boy, you're not alone! Me? It's only Mundanus and snow and snow and effin' snow!"
Ayolah, kalau ia tengah merutuk-rutuk dengan wajah ditekuk lucu macam bocah direbut mainannya begitu, mana pernah sih aku tidak tertawa? Atau setidaknya mendengus geli.
"Kan ada sweter dariku," aku masih terkikik geli.
"It's minus thirty or forty or something! And I think I'm gonna miss our Christmas party..."
".......... Kamu di mana ini—kapan pulaaang?"
"Tiga atau empat hari lagi. Mungkin... Aku tak tahu ini di mana, kayaknya bahkan ga ada di peta."
Minus tiga puluh derajat, tidak terpeta... Aku cuma bisa bengong, menggumamkan 'ya ampun' yang bahkan sampai tidak bersuara, menggumamkan tentang pekerjaan apa yang dititahkan Mundanus untuknya sampai menculiknya ke antah berantah begitu. Andrew hanya terkekeh menanggapinya.
"Kamu sendiri gimana? Kristobal ga suruh yang aneh-aneh, kan?"
"Cuma suruh masak makan malam. Terus ngurus Toto. Terus... masak buat Christmas Dinner besok—"
"CHRISTMAS DINNAAAAH!!!"
"—firasatku sih dia bakal aku suruh masak terus sampai Mrs. Lovett pulang—kamu kenapa?"
Aku mengerjap-ngerjap terpana karena dia mendadak merengek dan uring-uringan dan mengacak-acak rambutnya, teriak-teriak tolol soal Christmas Dinner.
"Aku kangen masakanmu," ia masih merengek. "And now knowing that you cook some delicious food for other people but me..."
".... gimana dong," aku bergumam merana. "Aku kesepian di rumah sendiri. It's so empty, and cold, and quiet..."
"I know, I'm sorry."
"Terus mau kirim masakannya lewat Dawn juga... katamu tidak terpeta."
"Jangan, nanti Dawn mati di tengah jalan."
Aku berdecak, entah harus merasa takjub atau kasihan. Padahal, burung hantu salju betina pemberiannya dulu itu tidak bisa dibilang lemah. Ketika aku masih di Hogwarts dulu saja Dawn sudah biasa terbang bolak-balik lintas-negara (karena aku masih terjebak di kastil Hogwarts, sementara Andrew berkeliaran di Norwegia, lalu ke Islandia, dan entah ke mana lagi, aku sampai tidak ingat) bahkan lintas benua ketika musim semi lalu aku kabur ke sebuah pulau tropis di Asia Tenggara setelah kami bertengkar dan Andrew mengirimiku surat demi surat hingga pada akhirnya ia nekat menyusulku terbang naik sapu mengikuti Dawn dari Inggris—oke, itu cerita lain, kapan-kapan saja kuceritakan.
"Kamu nggak bisa pulang dulu ya, sebentar saja gitu?"
Lagi-lagi aku menghela napas panjang, memandanginya sendu di balik cermin.
"I will if I could..."
"—hng."
Hening lagi. Jemariku mengelus cerminnya lagi, mensugesti pikiranku kalau aku tengah menyentuh pipinya, menarik-narik bibirnya yang kini tampak murung lagi.
"Yasudah, nanti kamu pulang aku masak lagi, deh."
...
Dan rasanya, barusan aku terdengar seperti tengah menegar-negarkan diri lagi.
"Kayaknya malam ini bisa sebentar deh, sejam atau dua jam. Siapkan ember buat aku muntah."
Sontak aku kembali duduk tegak, menganga sangat lebar.
"Malam ini?! BETULAN?!"
"Iya. Sekarang jam berapa di sana? I'm lost in time here."
"But—but—" aku gelagapan seperti orang linglung habis akal. "—But it's almost midnight!"
"Oh, midnight ya di sana..."
" ............... Jangan-jangan kamu di luar Inggris ya."
Setelah kupikir-pikir lagi, itu pertanyaan luar biasa tolol. Inggris bagian mana yang saat ini suhunya mencapai minus tiga puluh derajat?
"Inggris bagian mana coba yang bikin jam tangan jadi ga berfungsi?"
Oh, plus itu juga.
"I'm somewhere in north pole, or south pole. Maybe north because I saw something looks like polar bear hours ago."
".... Astaga."
Oke, itu menjelaskan kenapa Andrew hanya melihat salju dan salju saja.
"Yasudah. Kalau kamu bisa pulang, pulang ke rumah saja. Ini aku di tempat Kristobal, aku pulang juga kalau begitu."
"Katanya kamu masak di sana?"
"Tapi ini midnight... sudah ngga ada sisa apa-apa lagi."
"Hmmm... sebentar deh."
Dia menghilang sesaat dari cermin. Kulipat kakiku, jemariku mengetuk-ngetuk besi berukir kepala tempat tidur selama menunggunya. Sebentar ia kembali muncul.
"Kamu pulang pakai apa?" tanyanya.
"Floo." itu satu-satunya yang terpikir cukup aman untukku, tanpa harus khawatir Splinching atau apapun yang kira-kira bakal mempengaruhi kandunganku.
"Aku cuma bisa sejam, paling. Dan sialnya bisanya sekarang. Like, sekarang..."
"Ya sudah aku juga pulang," ujarku mantap, melompat turun dari tempat tidur tanpa berpikir panjang lagi, bahkan tak terganggu mencari sandal kamar sama sekali. Cerminnya kukecilkan lagi, rantainya kembali kukalungkan ke leherku.
"Hati-hati kamu pakai Floo-nya."
"Iya."
"Okay. See ya at home."
Kukecup permukaan cermin untuk yang terakhir kali, kakiku yang telanjang sudah berderap memburu pintu, mendorongnya hingga menjeblak terbuka, masih dalam gaun tidurku. Aku tahu ini belum jam tidur Kristobal, pria itu pasti masih berkutat di ruang kerjanya, atau di Ruang Ramuan di basemen. Tidak peduli ini sudah hampir tengah malam, aku berlari menyusuri koridor dan menuruni tangga, berderap berisik mencari-cari sesosok Kristobal Morcerf. Aku merinding kedinginan, mantel kamarku juga lupa kukenakan, sepertinya masih tersangkut di kaitan di kamar.
"Kristobal! I'm going home for tonight!"
***
Pintu kaca yang menghubungkan kamar kami ke taman ini sudah sejak tadi kubuka lebar-lebar. Aku merinding di balik balutan mantel musim dingin tebal, sepertinya di London bagian ini juga terkena hujan salju, hamparan rumput di kebun kami tampak putih, hampir kesemuanya tertutup salju. Aku sudah menyiapkan segulung besar tisu, air putih hangat dan segelas ramuan anti muntah di atas meja rias, mondar-mandir tidak sabar menunggu Andrew tiba. Kutub Utara dengan London, silakan bayangkan jauhnya berapa ribu kilometer. Apparate dengan jarak sejauh itu siapapun isi perutnya pasti akan teraduk maksima.
Suara letusan yang cukup keras di kebun memberitahuku kalau Andrew sudah tiba. Aku berderap menyongsongnya yang langsung jatuh berlutut dan muntah-muntah hebat di atas salju, tidak peduli hanya mengenakan sandal kamar, kedua tanganku penuh dengan gelas berisi ramuan dan gulungan besar tisu dan tongkat, yang kemudian semuanya kukepit di sebelah tangan, sebelah lagi memijati belakang leher dan pundak Andrew.
"I need to brush my teeth..... Ugh...."
Akhirnya dia berhenti, masih terpuruk lemas. Ia mengelap mulutnya dengan tisu yang kusodorkan, wajahnya yang terkena bias cahaya dari kamar yang terbuka masih tampak pucat.
"Nih minum dulu," kusodorkan gelas berisi ramuannya yang ia tandaskan sekali teguk, menggumamkan terima kasih.
"Oke, aku ke kamar mandi dulu."
"Sana."
Mengerikan, kalau melihat bekasnya muntah-muntah tadi. Tongkatku terayun membersihkan bekasnya, Andrew sudah melenggang masuk terlebih dulu. Dengan gelas dan tisu masih di pelukan, kutarik pintu geser kaca hingga menutup, menguncinya, menarik kembali tirai hingga rapat, melenggang menuju dapur.
"Gyaaaa!!"
Sesuatu menubrukku dari belakang, aku hanya melihat kelebatan berwarna cokelat. Andrew, siapa lagi? Tawaku berderai, balas merangkulnya dengan erat.
"I miss youuuuuu...."
"I miss you, tooooo...."
Ucapanku terputus oleh ciumannya, berkali-kali, merangsekku tak sabar, bibirku dan miliknya saling berpagutan seolah kerasukan, saling menyesap, menghirup, mencecap, mereguk sepuas-puasnya, dan lagi, dan lagi sampai kehabisan napas, tak ubahnya seperti sudah tidak saling berjumpa selama ribuan tahun, padahal baru tiga hari Andrew pergi. Aku merindukannya, merindukannya, amat sangat merindukannya, dadaku terasa meluap-luap sampai mau pecah.
"Kamu sehat, kan? Tidur cukup, kan? Makanmu benar, kan?"
Ia memberondongku tanpa ampun begitu bibir kami saling terpisah, mengelus rambutku dengan lembut. Aku tahu, ia juga rindu menyentuh kembali rambutku, merasakannya di antara jari-jemarinya yang besar itu. Senyumku terkembang, menangkap kedua iris hijaunya menatapku sayang, tengah menyelidik profilku dari ujung kepala hingga ujung kaki. Aku mengangguk-angguk kecil.
"I'm fine." Merlin, bahkan setelah aku memeluknya, setelah aku menciumnya, bahkan setelah jemariku menelusuri garis wajahnya ini, aku masih belum percaya Andrew, Andrew-ku tiba-tiba saja muncul di hadapanku, tengah memelukku erat, tengah mengelus dan menghirup rambutku dalam-dalam. "Kamu sendiri? Makanmu gimana? Istirahat cukup, nggak?"
"Yaah... lumayan," jawaban ambigu. Kalau dia menjawab begitu, aku tahu dia pasti bekerja terlalu keras lagi seperti biasanya. "Sudahlah, yang penting aku masih hidup."
Benar juga. Andrew-ku masih hidup, kini ada di depanku, bisa kusentuh, kupeluk sepuasnya. Aku menelusupkan kepalaku ke dadanya, mengeratkan pelukanku seolah enggan berpisah.
"Bau ih." Lalu tertawa berderai.
"Ga suka?" lagi-lagi, dengan ekspresi bandelnya yang khas itu. Aku kembali tertawa, menusuk-nusuk pinggangnya.
"Kalau kamu punya waktu panjang, sudah aku seret kamar mandi ini."
"Wuuhuu. Kamu mau apain aku dong sekarang?"
"Kamu maunya apa?" aku mengedip penuh arti, mengayun-ayunkan genggaman tangan kami dengan riang, mengikik geli. "Mau makan? Atau mandi? Atau... yang lain?"
"Memang kamu bisa bikin apa cuma sejam? Besides, aku baru makan, sih."
"Omelet... paling?"
Ia terbahak menanggapi, menepuk kepalaku ringan. "Nanti saja," timpalnya, mengedip main-main, "kalau aku balik betulan."
"Jadi... Mandi?"
Entah senyum siapa yang paling lebar, miliknya atau senyumku. Atau kikikan siapa yang paling keras. Aku berjinjit menarik lehernya agar sejajar, mengecup pipinya. Kakiku melangkah, menarik tangannya menuju kamar mandi.
Cuma satu jam.
Tidak apa. Dia muncul saja, aku sudah bahagia.
***
"Kamu harus pergi lagi sekarang, ya?"
Aku mendesah sendu, menyodorkan ransel berisi beberapa mantel dan pakaian tebal lain, hot packs, serta satu termos cokelat panas untuknya. Jemarinya menyibakkan anak-anak rambut di pelipisku lagi, tampak sama beratnya untuk pergi.
"Kamu tidurlah. Aku pergi setelah kamu tidur."
Ia melepaskan ransel dan termos dari genggaman tanganku, membimbingku ke atas tempat tidur. Aku menurut tanpa berkata apa-apa. Ia membantuku berbaring, membantuku meletakkan bantal di bawah bokong dan lututku, menyelimutiku, memastikan aku sudah berbaring nyaman. Duduk di sampingku, membelai-belai rambutku. Pandanganku tak pernah terlepas darinya.
"Sana tidur. Sudah malam."
"Mmm-hmm."
Sebelah tangannya kupeluk erat. Aku tahu, ini bukan keinginannya untuk meninggalkanku lagi, kami sama sekali tidak punya kuasa untuk begitu saja minggat dan menolak bekerja. Tetap saja... Aku tak bisa menutup mata. Aku tahu, kalau kututup mataku sekarang, ia akan pergi, dan besok pagi, aku hanya akan disambut keheningan dan kehampaan yang sama.
Tapi kalau aku tidak tidur, aku tahu ia tak akan tenang meninggalkanku, khawatir tidurku tak cukup karena tak ada dirinya yang bisa kupeluk di sampingku, kawatir nantinya akan mengganggu kesehatanku, mengganggu kandunganku.
"Tinggal beberapa hari lagi. Aku janji langsung pulang begitu bisa." Lagi-lagi kudengar suaranya yang lembut, membelai telingaku. Jemarinya kini mengelus-elus perutku. "Tidurlah. Dia juga perlu istirahat."
Dia tahu itu kata-kata yang ampuh untuk membuatku menurut. Dengan berat hati, kubiarkan kelopak mataku tertutup, entah kenapa mendadak aku merasa amat sangat lelah, sangat mengantuk. Aku merasakan dia mengecup keningku, lama, sangat lama, aku bisa merasakan setiap kerinduannya yang membuncah, setiap keengganannya untuk meninggalkanku sendirian lagi, setiap sayangnya yang seolah ingin menyelimutiku selamanya dan tak pernah beranjak selangkahpun lagi dari sisiku. Aku meremas genggamannya, mencium punggung tangannya dengan sayang, sebelum melepaskannya dengan berat hati.
"I love you."
Hanya itu yang kuingat sebelum aku jatuh tertidur, berharap memimpikannya tengah bergelung di sampingku, terlelap sambil saling berpelukan.
—THE END—
Aku pasti barusan jatuh tertidur tanpa sadar entah untuk berapa lama, karena setelahnya aku hanya sadar mendengar suara ketukan samar. Ketukan yang terdengar tidak asing.
"Helloooooo!!"
Tentu saja aku mengenal suara itu. Suara siapa lagi? Aku mendadak terbangun, mataku langsung terbuka sepenuhnya. Seraut wajahnya muncul di permukaan cerminku, dengan cengiran lebarnya, dengan binar matanya yang berseri-seri riang, langsung melambai-lambai heboh begitu menyadari aku sudah membuka mata. Lalu terkekeh-kekeh lagi, mungkin karena setelahnya aku hanya bengong dan terpaku selama beberapa saat.
"Hweeeeee....."
...
Iya, merengek seperti bocah. Ah, peduli apa juga? Pokoknya Andrew sudah muncul, itu satu-satunya yang mengokupasi pikiranku saat ini. Dia pasti menyandarkan cermin miliknya atau mungkin membuatnya melayang di udara, karena kini ia merentangkan kedua tangannya lebar-lebar, memberi gestur seolah hendak memelukku. Kusambar tongkatku di meja samping tempat tidur, membesarkan cerminnya hingga berdiameter sekitar tiga puluh senti, menyandarkannya di dinding hingga berdiri tegak. Aku kembali berbaring miring dengan wajah menghadap cermin.
"Happy Saturnalia! And Yuletide, and Winter Solstice, and Christmas, and Anniversary!"
Andrew mengakhiri runtutan ucapan selamatnya dengan mengecup cermin. Aku melakukan hal yang sama, mengecup permukaan cermin yang dingin berkali-kali. Dan lagi. Dan lagi. Dan lagi.
"Kangeeen..."
"Aye, me too..."
Wajahku pasti jelek sekali, merengek seperti anak kecil sembari menahan tangis tapi juga dengan bibir tersenyum lebar, sangat, sangat lebar, tanpa bisa kutahan, dengan cahaya lampu minyak yang apinya sesekali bergoyang sebagai latar belakang. Dia sudah berhenti menciumi cermin, pandangannya melembut dengan senyumnya yang masih selebar tadi.
"How are you?"
"Still alive, breathing... But it's too lonely without you."
"Aww... I'm lonely, too." Akhir kalimatku sepertinya terdengar amat sangat depresi, karena ia kemudian terdengar seperti tengah membujukku, jemarinya mengelusi permukaan cermin seolah tengah mengelus rambutku. Kupejamkan mata, kubayangkan jari-jemarinya tengah benar-benar mengelus rambutku dengan lembut, seperti yang biasa ia lakukan.
"But you've got my boy, you're not alone! Me? It's only Mundanus and snow and snow and effin' snow!"
Ayolah, kalau ia tengah merutuk-rutuk dengan wajah ditekuk lucu macam bocah direbut mainannya begitu, mana pernah sih aku tidak tertawa? Atau setidaknya mendengus geli.
"Kan ada sweter dariku," aku masih terkikik geli.
"It's minus thirty or forty or something! And I think I'm gonna miss our Christmas party..."
".......... Kamu di mana ini—kapan pulaaang?"
"Tiga atau empat hari lagi. Mungkin... Aku tak tahu ini di mana, kayaknya bahkan ga ada di peta."
Minus tiga puluh derajat, tidak terpeta... Aku cuma bisa bengong, menggumamkan 'ya ampun' yang bahkan sampai tidak bersuara, menggumamkan tentang pekerjaan apa yang dititahkan Mundanus untuknya sampai menculiknya ke antah berantah begitu. Andrew hanya terkekeh menanggapinya.
"Kamu sendiri gimana? Kristobal ga suruh yang aneh-aneh, kan?"
"Cuma suruh masak makan malam. Terus ngurus Toto. Terus... masak buat Christmas Dinner besok—"
"CHRISTMAS DINNAAAAH!!!"
"—firasatku sih dia bakal aku suruh masak terus sampai Mrs. Lovett pulang—kamu kenapa?"
Aku mengerjap-ngerjap terpana karena dia mendadak merengek dan uring-uringan dan mengacak-acak rambutnya, teriak-teriak tolol soal Christmas Dinner.
"Aku kangen masakanmu," ia masih merengek. "And now knowing that you cook some delicious food for other people but me..."
".... gimana dong," aku bergumam merana. "Aku kesepian di rumah sendiri. It's so empty, and cold, and quiet..."
"I know, I'm sorry."
"Terus mau kirim masakannya lewat Dawn juga... katamu tidak terpeta."
"Jangan, nanti Dawn mati di tengah jalan."
Aku berdecak, entah harus merasa takjub atau kasihan. Padahal, burung hantu salju betina pemberiannya dulu itu tidak bisa dibilang lemah. Ketika aku masih di Hogwarts dulu saja Dawn sudah biasa terbang bolak-balik lintas-negara (karena aku masih terjebak di kastil Hogwarts, sementara Andrew berkeliaran di Norwegia, lalu ke Islandia, dan entah ke mana lagi, aku sampai tidak ingat) bahkan lintas benua ketika musim semi lalu aku kabur ke sebuah pulau tropis di Asia Tenggara setelah kami bertengkar dan Andrew mengirimiku surat demi surat hingga pada akhirnya ia nekat menyusulku terbang naik sapu mengikuti Dawn dari Inggris—oke, itu cerita lain, kapan-kapan saja kuceritakan.
"Kamu nggak bisa pulang dulu ya, sebentar saja gitu?"
Lagi-lagi aku menghela napas panjang, memandanginya sendu di balik cermin.
"I will if I could..."
"—hng."
Hening lagi. Jemariku mengelus cerminnya lagi, mensugesti pikiranku kalau aku tengah menyentuh pipinya, menarik-narik bibirnya yang kini tampak murung lagi.
"Yasudah, nanti kamu pulang aku masak lagi, deh."
...
Dan rasanya, barusan aku terdengar seperti tengah menegar-negarkan diri lagi.
"Kayaknya malam ini bisa sebentar deh, sejam atau dua jam. Siapkan ember buat aku muntah."
Sontak aku kembali duduk tegak, menganga sangat lebar.
"Malam ini?! BETULAN?!"
"Iya. Sekarang jam berapa di sana? I'm lost in time here."
"But—but—" aku gelagapan seperti orang linglung habis akal. "—But it's almost midnight!"
"Oh, midnight ya di sana..."
" ............... Jangan-jangan kamu di luar Inggris ya."
Setelah kupikir-pikir lagi, itu pertanyaan luar biasa tolol. Inggris bagian mana yang saat ini suhunya mencapai minus tiga puluh derajat?
"Inggris bagian mana coba yang bikin jam tangan jadi ga berfungsi?"
Oh, plus itu juga.
"I'm somewhere in north pole, or south pole. Maybe north because I saw something looks like polar bear hours ago."
".... Astaga."
Oke, itu menjelaskan kenapa Andrew hanya melihat salju dan salju saja.
"Yasudah. Kalau kamu bisa pulang, pulang ke rumah saja. Ini aku di tempat Kristobal, aku pulang juga kalau begitu."
"Katanya kamu masak di sana?"
"Tapi ini midnight... sudah ngga ada sisa apa-apa lagi."
"Hmmm... sebentar deh."
Dia menghilang sesaat dari cermin. Kulipat kakiku, jemariku mengetuk-ngetuk besi berukir kepala tempat tidur selama menunggunya. Sebentar ia kembali muncul.
"Kamu pulang pakai apa?" tanyanya.
"Floo." itu satu-satunya yang terpikir cukup aman untukku, tanpa harus khawatir Splinching atau apapun yang kira-kira bakal mempengaruhi kandunganku.
"Aku cuma bisa sejam, paling. Dan sialnya bisanya sekarang. Like, sekarang..."
"Ya sudah aku juga pulang," ujarku mantap, melompat turun dari tempat tidur tanpa berpikir panjang lagi, bahkan tak terganggu mencari sandal kamar sama sekali. Cerminnya kukecilkan lagi, rantainya kembali kukalungkan ke leherku.
"Hati-hati kamu pakai Floo-nya."
"Iya."
"Okay. See ya at home."
Kukecup permukaan cermin untuk yang terakhir kali, kakiku yang telanjang sudah berderap memburu pintu, mendorongnya hingga menjeblak terbuka, masih dalam gaun tidurku. Aku tahu ini belum jam tidur Kristobal, pria itu pasti masih berkutat di ruang kerjanya, atau di Ruang Ramuan di basemen. Tidak peduli ini sudah hampir tengah malam, aku berlari menyusuri koridor dan menuruni tangga, berderap berisik mencari-cari sesosok Kristobal Morcerf. Aku merinding kedinginan, mantel kamarku juga lupa kukenakan, sepertinya masih tersangkut di kaitan di kamar.
"Kristobal! I'm going home for tonight!"
***
Pintu kaca yang menghubungkan kamar kami ke taman ini sudah sejak tadi kubuka lebar-lebar. Aku merinding di balik balutan mantel musim dingin tebal, sepertinya di London bagian ini juga terkena hujan salju, hamparan rumput di kebun kami tampak putih, hampir kesemuanya tertutup salju. Aku sudah menyiapkan segulung besar tisu, air putih hangat dan segelas ramuan anti muntah di atas meja rias, mondar-mandir tidak sabar menunggu Andrew tiba. Kutub Utara dengan London, silakan bayangkan jauhnya berapa ribu kilometer. Apparate dengan jarak sejauh itu siapapun isi perutnya pasti akan teraduk maksima.
Suara letusan yang cukup keras di kebun memberitahuku kalau Andrew sudah tiba. Aku berderap menyongsongnya yang langsung jatuh berlutut dan muntah-muntah hebat di atas salju, tidak peduli hanya mengenakan sandal kamar, kedua tanganku penuh dengan gelas berisi ramuan dan gulungan besar tisu dan tongkat, yang kemudian semuanya kukepit di sebelah tangan, sebelah lagi memijati belakang leher dan pundak Andrew.
"I need to brush my teeth..... Ugh...."
Akhirnya dia berhenti, masih terpuruk lemas. Ia mengelap mulutnya dengan tisu yang kusodorkan, wajahnya yang terkena bias cahaya dari kamar yang terbuka masih tampak pucat.
"Nih minum dulu," kusodorkan gelas berisi ramuannya yang ia tandaskan sekali teguk, menggumamkan terima kasih.
"Oke, aku ke kamar mandi dulu."
"Sana."
Mengerikan, kalau melihat bekasnya muntah-muntah tadi. Tongkatku terayun membersihkan bekasnya, Andrew sudah melenggang masuk terlebih dulu. Dengan gelas dan tisu masih di pelukan, kutarik pintu geser kaca hingga menutup, menguncinya, menarik kembali tirai hingga rapat, melenggang menuju dapur.
"Gyaaaa!!"
Sesuatu menubrukku dari belakang, aku hanya melihat kelebatan berwarna cokelat. Andrew, siapa lagi? Tawaku berderai, balas merangkulnya dengan erat.
"I miss youuuuuu...."
"I miss you, tooooo...."
Ucapanku terputus oleh ciumannya, berkali-kali, merangsekku tak sabar, bibirku dan miliknya saling berpagutan seolah kerasukan, saling menyesap, menghirup, mencecap, mereguk sepuas-puasnya, dan lagi, dan lagi sampai kehabisan napas, tak ubahnya seperti sudah tidak saling berjumpa selama ribuan tahun, padahal baru tiga hari Andrew pergi. Aku merindukannya, merindukannya, amat sangat merindukannya, dadaku terasa meluap-luap sampai mau pecah.
"Kamu sehat, kan? Tidur cukup, kan? Makanmu benar, kan?"
Ia memberondongku tanpa ampun begitu bibir kami saling terpisah, mengelus rambutku dengan lembut. Aku tahu, ia juga rindu menyentuh kembali rambutku, merasakannya di antara jari-jemarinya yang besar itu. Senyumku terkembang, menangkap kedua iris hijaunya menatapku sayang, tengah menyelidik profilku dari ujung kepala hingga ujung kaki. Aku mengangguk-angguk kecil.
"I'm fine." Merlin, bahkan setelah aku memeluknya, setelah aku menciumnya, bahkan setelah jemariku menelusuri garis wajahnya ini, aku masih belum percaya Andrew, Andrew-ku tiba-tiba saja muncul di hadapanku, tengah memelukku erat, tengah mengelus dan menghirup rambutku dalam-dalam. "Kamu sendiri? Makanmu gimana? Istirahat cukup, nggak?"
"Yaah... lumayan," jawaban ambigu. Kalau dia menjawab begitu, aku tahu dia pasti bekerja terlalu keras lagi seperti biasanya. "Sudahlah, yang penting aku masih hidup."
Benar juga. Andrew-ku masih hidup, kini ada di depanku, bisa kusentuh, kupeluk sepuasnya. Aku menelusupkan kepalaku ke dadanya, mengeratkan pelukanku seolah enggan berpisah.
"Bau ih." Lalu tertawa berderai.
"Ga suka?" lagi-lagi, dengan ekspresi bandelnya yang khas itu. Aku kembali tertawa, menusuk-nusuk pinggangnya.
"Kalau kamu punya waktu panjang, sudah aku seret kamar mandi ini."
"Wuuhuu. Kamu mau apain aku dong sekarang?"
"Kamu maunya apa?" aku mengedip penuh arti, mengayun-ayunkan genggaman tangan kami dengan riang, mengikik geli. "Mau makan? Atau mandi? Atau... yang lain?"
"Memang kamu bisa bikin apa cuma sejam? Besides, aku baru makan, sih."
"Omelet... paling?"
Ia terbahak menanggapi, menepuk kepalaku ringan. "Nanti saja," timpalnya, mengedip main-main, "kalau aku balik betulan."
"Jadi... Mandi?"
Entah senyum siapa yang paling lebar, miliknya atau senyumku. Atau kikikan siapa yang paling keras. Aku berjinjit menarik lehernya agar sejajar, mengecup pipinya. Kakiku melangkah, menarik tangannya menuju kamar mandi.
Cuma satu jam.
Tidak apa. Dia muncul saja, aku sudah bahagia.
***
"Kamu harus pergi lagi sekarang, ya?"
Aku mendesah sendu, menyodorkan ransel berisi beberapa mantel dan pakaian tebal lain, hot packs, serta satu termos cokelat panas untuknya. Jemarinya menyibakkan anak-anak rambut di pelipisku lagi, tampak sama beratnya untuk pergi.
"Kamu tidurlah. Aku pergi setelah kamu tidur."
Ia melepaskan ransel dan termos dari genggaman tanganku, membimbingku ke atas tempat tidur. Aku menurut tanpa berkata apa-apa. Ia membantuku berbaring, membantuku meletakkan bantal di bawah bokong dan lututku, menyelimutiku, memastikan aku sudah berbaring nyaman. Duduk di sampingku, membelai-belai rambutku. Pandanganku tak pernah terlepas darinya.
"Sana tidur. Sudah malam."
"Mmm-hmm."
Sebelah tangannya kupeluk erat. Aku tahu, ini bukan keinginannya untuk meninggalkanku lagi, kami sama sekali tidak punya kuasa untuk begitu saja minggat dan menolak bekerja. Tetap saja... Aku tak bisa menutup mata. Aku tahu, kalau kututup mataku sekarang, ia akan pergi, dan besok pagi, aku hanya akan disambut keheningan dan kehampaan yang sama.
Tapi kalau aku tidak tidur, aku tahu ia tak akan tenang meninggalkanku, khawatir tidurku tak cukup karena tak ada dirinya yang bisa kupeluk di sampingku, kawatir nantinya akan mengganggu kesehatanku, mengganggu kandunganku.
"Tinggal beberapa hari lagi. Aku janji langsung pulang begitu bisa." Lagi-lagi kudengar suaranya yang lembut, membelai telingaku. Jemarinya kini mengelus-elus perutku. "Tidurlah. Dia juga perlu istirahat."
Dia tahu itu kata-kata yang ampuh untuk membuatku menurut. Dengan berat hati, kubiarkan kelopak mataku tertutup, entah kenapa mendadak aku merasa amat sangat lelah, sangat mengantuk. Aku merasakan dia mengecup keningku, lama, sangat lama, aku bisa merasakan setiap kerinduannya yang membuncah, setiap keengganannya untuk meninggalkanku sendirian lagi, setiap sayangnya yang seolah ingin menyelimutiku selamanya dan tak pernah beranjak selangkahpun lagi dari sisiku. Aku meremas genggamannya, mencium punggung tangannya dengan sayang, sebelum melepaskannya dengan berat hati.
"I love you."
Hanya itu yang kuingat sebelum aku jatuh tertidur, berharap memimpikannya tengah bergelung di sampingku, terlelap sambil saling berpelukan.
—THE END—